Harta misliyat, yaitu ; “Mitsliyat (harta semisal) menurut istilah adalah apa-apa yang didapati yang semisalnya di pasar tanpa ada perbedaan yang signifikan, dalam arti perbedaan yang ada, tidak mengakibatkan perbedaan harga” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, Juz 36: 85).
.
Contoh harta mitsliyat adalah: barang-barang yang dapat ditakar, dihitung dan ditimbang. Contohnya adalah beras, gula, minyak dan lain-lain.
.
Harta qiimiyat, yaitu ; “Qiimiyat (harta senilai) menurut istilah adalah apa-apa yang tidak didapati yang semisalnya di pasar, atau didapati yang semisalnya tetapi ada perbedaan yang signifikan dalam nilainya” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, Juz 36: 85).
.
Contoh harta yang masuk kategori qiimiyat adalah: rumah, hewan, lahan, tanam-tanaman dan lain-lain.
.
Selanjutnya, dalam pembahasan rukun-rukun dalam pinjaman yaitu qardh. Rukun Kedua, yaitu harta yang dipinjamkan (al-maal al-muqtaradh). Syarat-syaratnya adalah:
- Hartanya termasuk harta mitsliyyat (harta yang semisal), seperti uang, barang yang ditakar, ditimbang, dihitung. Sebagai catatan: harta qiimiyyat (senilai) boleh juga dijadikan obyek utang-piutang, asalkan sifatnya dapat distandarisasi dengan mendekati sama.
- Hartanya merupakan ‘ain (barang). Maksudnya bukan manfaat (jasa).
- Hartanya diketahui (ma’luum), yaitu diketahui kadarnya (kuantitasnya) dan sifatnya (kualitasnya).
.
Dari uraian rukun kedua dari qardh telah dijelaskan bahwa qardh itu hanya berlaku untuk harta mitsliyat. Ketentuan dalam pengembaliannya adalah harus harta yang semisal (sejenis) dan sekadar (sama jumlah atau kadarnya).
.
Sedangkan untuk harta qiimiyyat (senilai), maka masih dibolehkan untuk utang-piutang, dengan ketentuan pengembaliannya secara kuantitas harus sama, sedangkan dalam hal kualitas harus diupayakan yang senilai. Dalam hal ini, untuk harta qiimiyyat (senilai), memang tidak dapat ditakar dengan tepat padanannya, sebagaimana pada harta mitsliyat, sehingga adanya perbedaan kualitas masih dapat ditoleransi.
.
Oleh karena itu, untuk kalimat أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً dalam hadits tentang pengembalian onta di atas, tetap tidak boleh diartikan sebagai kebolehan mengembalikan utang dengan tambahan secara kuantitas. Jika pengembalian pinjaman onta oleh Rasul SAW dengan yang lebih tua umurnya itu difahami itu sebagai dibolehkannya pengembalian pinjaman dengan tambahan secara kuantitas, maka itu jelas akan bertentangan degan hadits-hadits tentang larangan adanya tambahan pada utang-piutang secara mutlak.
.
Dengan menggunakan beberapa hadits, diantaranya adalah:
“Setiap utang-piutang yang menghasilkan manfa’at adalah riba” (HR. Baihaqi).
“Jika seseorang memberi pinjaman (qardh), janganlah dia mengambil hadiah.” (HR Bukhari).
.
Konsekuensinya, jika kita tetap dengan pemahaman bahwa kita diperbolehkan mengembalikan pinjaman dengan tambahan secara kuantitas, maka pemahaman itu tentu akan membuang hadits-hadits shohih yang jumlahnya cukup banyak tersebut.
.
Padahal pengamalan satu dalil, dengan membuang dalil lain yang nampaknya saling bertentangan (ta’arudh) itu adalah hal yang sangat dihindari oleh para mujtahid. Sebab, ada kaidah fiqih yang menunjukkan hal itu, yaitu: “Mengamalkan dua dalil yang bertentangan lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”.
.
Ingin faham lebih lengkap Tentang Membangun Bisnis Syariah ??, Silahkan Pre Order buku Membangun Bisnis Syariah…
👇👇👇