Pendapat yang menyatakan bahwa bunga bank itu halal, karena untuk mengimbangi inflasi. Mereka berpendapat bahwa jumlah uang masa kini mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada jumlah yang sama pada suatu masa, oleh karena itu bunga yang diberikan, untuk mengimbangi penurunan nilai antara daya beli uang. Dengan kata lain bunga diberikan untuk mengimbangi laju inflasi yang mengakibatkan menyusutnya nilai uang tersebut.
.
Menurut Boediono (1992), yang dimaksud dengan inflasi adalah kenaikan harga-harga secara umum. Kenaikan harga satu atau dua jenis barang saja dan tidak menyeret kenaikan harga barang-barang lain tidak dapat disebut sebagai inflasi. Demikian juga kenaikan harga secara musiman, sebagaimana yang terjadi pada hari-hari raya tidak dapat disebut sebagai inflasi.
.
Dengan kata lain, inflasi adalah fenomena dimana jumlah uang yang beredar lebih banyak daripada jumlah barang dan jasa di pasar. Inflasi ditunjukkan oleh penurunan nilai mata uang kertas (fiat money). Contoh ; uang Rp 100 ribu pada tahun 2008, berbeda nilainya dengan uang Rp 100 ribu tahun 2018 sekarang. Jadi, menurut pendapat ini adanya bunga bank adalah suatu kewajaran sebagai imbangan terjadinya inflasi.
.
Nah, bagaimana kita dapat menjawab pendapat di atas? Untuk menjawab pendapat ini, kita dapat melihat dalam beberapa segi.
Pertama, pendapat ini tidak dapat diterima, karena pendapat ini hanya berdasarkan dalil aqli (logika), bukan berdasarkan dalil syar’i (wahyu). Berbicara hukum Islam, artinya adalah berbicara hukum berdasarkan wahyu Allah (Al Qur`an dan As Sunnah), bukan hukum berdasarkan akal manusia. Lihat dalil-dalil yang mewajibkan kita mengikuti hukum wahyu, misalnya QS Al Maidah : 48 dan 49, QS Al Maidah : 50, QS Al A’raf : 3 dll.
.
Kedua, sesungguhnya kebijakan negara mencetak uang kertas (fiat money) adalah suatu kekeliruan. Mengapa? Karena, uang kertas tidak mempunyai nilai intrinsik (pada dirinya sendiri) sehingga menyebabkan inflasi yang terus menerus. Seharusnya yang dicetak adalah uang berbasis logam mulia (dinar dan dirham) yang anti inflasi.
.
Pada zaman Nabi SAW harga 1 ekor kambing adalah 1 dinar, sekarang juga masih 1 dinar. Jadi, membolehkan riba untuk mengimbangi inflasi akibat uang kertas, adalah mengoreksi kesalahan dengan membuat kesalahan baru, atau “Mengatasi Masalah dengan Masalah”.
.
Seperti hanya membersihkan kotoran (yang najis) pada baju dengan menggunakan darah (yang juga najis). Seharusnya, membersihkan kotoran itu mestinya menggunakan air mutlak yang suci, bukan menggunakan darah yang sesama najis.
.
Ketiga, kita juga dapat melihat kenyataan bahwa dalam perekonomian itu tidak selalu mengalami inflasi. Terkadang perekonomian bisa mengalami inflasi, terkadang juga mengalami deflasi. Jika pengambilan bunga yang bersifat tetap di depan itu dianggap adil, karena untuk mengimbangi terjadinya inflasi, maka hal itu tidak sesuai dengan fakta dalam perekonomian. Sebab, dalam kondisi perekonomian mengalami deflasi, maka pengutang akan semakin terzalimi dengan keberadaan bunga tersebut.
.
Dari hasil uraian di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa keberadaan bunga sebagai kompensasi yang adil dari utang-piutang, sesungguhnya tidak sesuai dengan fakta dalam perekonomian. Sebab, bunga itu bersifat tetap, sedangkan fenomena dalam perekonomian itu bersifat fluktuatif. Sehingga, keberadaan bunga yang bersifat tetap itu tidak sesuai dengan kaidah: “Kerugian itu bergandengan dengan keuntungan” (An-Nabhani, 2004).
.
Ekonomi yang adil seharusnya dapat berjalan mengikuti pasang surutnya keuntungan. Jika keuntungan tinggi, seharusnya dinikmati bersama, sebaliknya jika bisnisnya merugi juga harus ditanggung bersama.
.
Ingin faham lebih lengkap Tentang Membangun Bisnis Syariah ??, Silahkan Pre Order buku Membangun Bisnis Syariah…
👇👇👇