Ada sebagian pakar ekonomi Islam yang berpendapat bahwa bunga bank itu “halal”, dengan argumen bahwa Islam memang telah melarang riba, tetapi bukan melarang bunga bank. Mereka berpendapat bahwa bunga yang dibayarkan pada pinjaman investasi dalam kegiatan yang bersifat produktif tidak bertentangan dengan hukum Al Qur-an, karena hukum tersebut hanya mengacu pada riba yang bermakna pinjaman yang bukan untuk produktif di masa pra Islam. Di masa itu orang tidak mengenal pinjaman produktif dan pengaruhnya pada perkembangan ekonomi.
.
Dengan kata lain, bunga yang haram hanya bunga bank yang diberikan kepada nasabah untuk keperluan konsumtif. Misalnya untuk keperluan kredit sepeda motor, mobil, rumah, dsb. Oleh karena itu bunga yang produktif (tidak konsumtif) yaitu untuk modal usaha adalah “halal”.
.
Apakah pendapat seperti ini dapat diterima? Pendapat tersebut ternyata tidak dapat dibenarkan. Mengapa? Ada beberapa argumen.
.
Pertama, pendapat ini telah membuat perkecualian haramnya riba, hanya berdasarkan dalil aqli (akal), bukan berdasar dalil syar’i (wahyu). Padahal, perkecualian (takhshis) tidak dibenarkan, kecuali berdasarkan dalil syar’i. Apa contohnya?
.
Contohnya, daging bangkai itu diharamkan berdasarkan Al-Qur’an Surat Al Maidah :
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah”.
.
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah SWT telah mengharamkan daging bangkai secara umum. Namun larangan ini kemudian dikecualikan (di-takhshis) dengan Hadits Nabi SAW, yaitu untuk bangkai ikan dan belalang. Dengan adanya pengecualian ini, maka dapat disimpulkan bahwa daging bangkai ikan dan belalang adalah halal.
.
Oleh karena itu, kita juga dapat melihat bahwa dalil keharaman riba itu juga bersifat umum, sebagaimana yang telah difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah: 275:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
.
Dalam ayat di atas ditunjukkan bahwaالرِّبَا adalah lafadz yang umum, maknanya mencakup segala macam bentuk riba, baik yang konsumtif maupun produktif. Maka, kaidah ushul fiqih menyebutkan:
“Dalil umum tetap dalam keumumannya, selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkan (mengecualikan keumumannya)”.
.
Setelah dikaji secara mendalam, tenyata tidak ada dalil-dalil yang menunjukkan bahwa pinjaman yang bersifat produktif itu menjadi pengecualian terhadap keumuman dari haramnya riba. Dengan demikian, pendapat yang menyatakan bahwa bunga bank itu halal karena bersifat produktif adalah kesimpulan yang bathil.
.
Kedua, jika kita mau kembalikan fakta di jaman Rasulullah SAW, maka kita dapat mengetahui bahwa praktik riba di jaman Rasul menunjukkan bahwa orang Yahudi Madinah meminjamkan tidak hanya untuk tujuan konsumsi saja, tetapi juga untuk perdagangan, yaitu untuk kepentingan produktif (Mannan, 1997).
.
Menyebut riba dengan nama bunga, tidak merubah sifatnya. Sehingga larangan terhadap riba berarti dilarangnya semua jenis ekses atas modal yang dipinjam, entah disebut bunga yang tinggi, bunga rendah ataupun penghasilan modal. Demikian pula tidak tepat mengatakan bahwa masa pra Islam pinjaman tidak diberikan untuk tujuan produktif (Mannan, 1997).
.
Fakta itu menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara praktik riba yang bersifat konsumtif dan produktif, karena hal itu sama-sama dilakukan di jaman Rasul dan keduanya sama-sama diharamkan. Tidak ada pengecualian yang diberikan oleh Rasulullah SAW terhadap kedua praktik riba tersebut.
.
Ingin faham lebih lengkap Tentang Membangun Bisnis Syariah ??, Silahkan Pre Order buku Membangun Bisnis Syariah…
👇👇👇