Agar transaksi utang-piutang itu sah, maka harus dipenuhi rukun-rukunnya. Adapun rukun-rukun akad Qardh ada 3 (tiga), yaitu (Al- Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 33/92), yaitu:
- Pemberi pinjaman (al-muqridh) dan peminjam (al-muqtaridh atau al-mustaqridh).
- Harta yang dipinjamkan (al-maal al-muqtaradh).
- Shighat (ijab dan kabul).
.
Dari ketiga rukun di atas, maka setiap rukun harus juga dipenuhi persyaratannya. Kita awali dengan rukun yang pertama, sebagai berikut:
.
Rukun Pertama, yaitu pemberi pinjaman (al-muqridh) dan peminjam (al-muqtaridh/al mustaqridh). Syarat-syarat untuk pemberi pinjaman (al-muqridh) : dia harus termasuk ahlut tabarru’ (cakap untuk menghibahkan sesuatu), yaitu :
- Berakal (‘aaqilan)
- Baligh (baalighan)
- Merdeka (hurran)
- Rasyiid (tidak boros/safiih).
Sedangkan syarat-syarat untuk peminjam (al-muqtaridh) adalah:
- Berakal (‘aaqilan)
- Baligh (baalighan)
- Merdeka (hurran)
.
Rukun Kedua, yaitu harta yang dipinjamkan (al-maal al-muqtaradh). Syarat-syaratnya adalah:
- Hartanya termasuk harta mitsliyyat (harta yang semisal), seperti uang, barang yang ditakar, ditimbang, dihitung. Sebagai catatan: harta qiimiyyat (senilai) boleh juga asalkan sifatnya dapat distandarisasi dengan tepat).
- Hartanya merupakan ‘ain (barang). Maksudnya bukan manfaat (jasa)
- Hartanya diketahui (ma’luum), yaitu diketahui kadarnya (kuantitasnya) dan sifatnya (kualitasnya).
.
Rukun Ketiga, yaitu shighat atau ijab-qabul. Bagi pemberi pinjaman: sah dengan segala ucapan yang menunjukkan makna memberi pinjaman (qardh). Seperti aqradhtuka (aku pinjamkan kepadamu), atau aslaftuka (aku pinjamkan kepadamu), atau a’thaituka (aku berikan kepadamu).
.
Sedangkan shighat untuk peminjam adalah dengan segala ucapan yang menunjukkan makna keridloan untuk meminjam, seperti: astaqridhu (aku meminjam), atau qabiltu (aku terima), atau radhiitu (aku rela).
.
Setelah terjadinya akad qardh, maka kepemilikan barang berpindah menjadi milik peminjam, bukan lagi milik pemberi pinjaman. Harta yang dikembalikan oleh peminjam, haruslah harta yang semisal (sejenis) dan sekadar (sama jumlah atau kadarnya). Dalam transaksi utang-piutang, dalam pandangan sistem syari’at Islam tidak diperbolehkan ada syarat memberikan tambahan (ziyadah) bagi pihak peminjam. Sebab, tambahan yang diambil dari utang-piutang tersebut dapat dikategorikan sebagai riba, yang haram hukumnya.
.
Ingin faham lebih lengkap Tentang Membangun Bisnis Syariah ??, Silahkan Pre Order buku Membangun Bisnis Syariah…
👇👇👇