BUNGA BANK DALAM PINJAMAN KEBAJIKAN. BAGAIMANA HUKUMNYA ??

Pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank itu hukumnya “halal” karena termasuk kategori pinjaman kebajikan (al-qardul-hasan). Menurut mereka, sesuatu yang diterima dari si peminjam dianggap sebagai pinjaman kebaikan (al-qardul-hasan), yaitu sumbangan dari pihak peminjam kepada pihak yang menyimpan uangnya di bank. Sumbangan yang diberikan peminjam kepada pihak yang meminjamkan melalui bank dimaksudkan sebagai rasa terima kasih atas bantuan yang telah diberikan.

.

Dalil yang dipergunakan untuk membenarkan praktek tersebut adalah Hadits Muslim yang bersumber dari Abu Hurairah. Beliau berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَسْلَفَ مِنْ رَجُلٍ بَكْرًا فَقَدِمَتْ عَلَيْهِ إِبِلٌ مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ فَأَمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِىَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ فَرَجَعَ إِلَيْهِ أَبُو رَافِعٍ فَقَالَ لَمْ أَجِدْ فِيهَا إِلاَّ خِيَارًا رَبَاعِيًا. فَقَالَ أَعْطِهِ إِيَّاهُ إِنَّ خِيَارَ النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً

Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah meminjam dari seorang seekor onta yang masih muda. Kemudian ada satu ekor onta sedekah yang dibawa kepada beliau. Beliau lalu memerintahkan Abu Rafi’ untuk membayar kepada orang tersebut pinjaman satu ekor onta muda. Abu Rafi’ pulang kepada beliau dan berkata: “Aku tidak mendapatkan kecuali onta yang masuk umur ketujuh”. Lalu beliau menjawab: “Berikanlah itu kepadanya! Sesungguhnya sebaik-baik manusia adalah yang paling baik dalam membayar hutangnya [HR Muslim no.4192].

.

Nah, bagaimana kita dapat menjawab pendapat ini? Untuk menjawab pendapat ini, maka dapat dijelaskan bahwa dalam Hadits Muslim yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa tambahan pembayaran yang dilakukan Rasul SAW tersebut bukanlah tambahan dalam arti jumlah (kuantitas) dari jenis harta yang dipinjam, juga bukan tambahan dari pinjaman berdasar kesepakatan yang terjadi sebelumnya, akan tetapi Rasulullah SAW membayar hutang (unta jantan) dengan jumlah yang sama banyaknya secara kuantitas.

.

Mengapa hal ini harus dibedakan? Kita harus memahami bahwa sesungguhnya harta yang diutang itu bisa dibedakan menjadi dua (Triono, 2019), yaitu:

  1. Harta misliyat, yaitu:

اَلْمِثْلِيَّات فِي الْاِصْطِلَاحِ كُلُّ مَا يُوْجَدُ لَهُ مِثْلُ فِي الأسْوَاقِ بِلَا تَفَاوُتٍ يَعْتَدُ بِهِ، بِحَيْثُ لَا يَخْتَلِفُ بِسَبَبِهِ الثَّمَنِ

“Mitsliyat (harta semisal) menurut istilah adalah apa-apa yang didapati yang semisalnya di pasar tanpa ada perbedaan yang signifikan, dalam arti perbedaan yang ada, tidak mengakibatkan perbedaan harga” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, Juz 36: 85).

.

Contoh harta mitsliyat adalah: barang-barang yang dapat ditakar, dihitung dan ditimbang. Contohnya adalah uang, beras, gula, jagung, minyak dan lain-lain.

  1. Harta qiimiyat, yaitu:

اَلْقِيْمِيَّات فِي الِاصْطِلَاحِ مَا لَا يُوْجَدُ لَهُ مِثْلُ فِي الْأسْوَاقِ, أوْ يُوْجَدُ لَكِنَّ مَعَ التّفَاوُتِ المُعْتَدُّ بِهِ فِي الْقِيْمَةِ

“Qiimiyat (harta senilai) menurut istilah adalah apa-apa yang tidak didapati yang semisalnya di pasar, atau didapati yang semisalnya  tetapi ada perbedaan yang signifikan dalam nilainya” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, Juz 36: 85).

.

Contoh harta yang masuk kategori qiimiyat adalah: rumah, hewan, lahan, tanam-tanaman dan lain-lain.

.

Untuk utang-piutang yang masuk dalam kategori qardh, maka berlaku ketentuan  bahwa harta yang dipinjamkan (al-maal al-muqtaradh) harus memenuhi syarat sebagai berikut (Triono, 2019):

1) Hartanya termasuk harta mitsliyyat (harta yang semisal), seperti uang, barang yang ditakar, ditimbang, dihitung. Sebagai catatan, bahwa harta qiimiyyat (senilai) boleh juga dijadikan obyek utang-piutang, asalkan sifatnya dapat distandarisasi dengan mendekati sama.

2) Hartanya merupakan ain (barang). Maksudnya bukan manfaat (jasa)

3) Hartanya diketahui (ma’luum), yaitu diketahui kadarnya (kuantitasnya) dan sifatnya (kualitasnya).

.

Dari uraian rukun pertama dari qardh, telah dijelaskan bahwa qardh itu hanya berlaku untuk harta mitsliyat. Ketentuan dalam pengembaliannya adalah harus harta yang semisal (sejenis) dan sekadar (sama jumlah atau kadarnya).

.

Sedangkan untuk harta qiimiyyat (senilai), maka masih dibolehkan untuk utang-piutang, dengan ketentuan pengembaliannya secara kuantitas harus sama, sedangkan dalam hal kualitas harus diupayakan yang senilai. Dalam hal ini, untuk harta qiimiyyat (senilai), memang tidak dapat ditakar dengan tepat padanannya, sebagaimana pada harta mitsliyat, sehingga adanya perbedaan kualitas masih dapat ditoleransi.

.

Oleh karena itu, untuk kalimat أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً dalam hadits tentang pengembalian onta di atas, tetap tidak boleh diartikan sebagai kebolehan mengembalikan utang dengan tambahan secara kuantitas. Jika pengembalian pinjaman onta oleh Rasul SAW dengan yang lebih tua umurnya itu difahami itu sebagai dibolehkannya pengembalian pinjaman dengan tambahan secara kuantitas, maka itu jelas akan bertentangan degan hadits-hadits tentang larangan adanya tambahan pada utang-piutang secara mutlak.

.

Hal itu sudah dibahas dalam uraian sebelumnya, yaitu dengan menggunakan beberapa hadits yang sama, diantaranya adalah:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا

“Setiap utang-piutang yang menghasilkan manfa’at adalah riba (HR. Baihaqi).

.

إذا أقْرَضَ فَلَا يَأْخُذُ هَدِيَةً

Jika seseorang memberi pinjaman (qardh), janganlah dia mengambil hadiah.” (HR Bukhari).

.

Konsekuensinya, jika kita tetap dengan pemahaman bahwa kita diperbolehkan mengembalikan pinjaman dengan tambahan secara kuantitas, maka pemahaman itu tentu akan membuang hadits-hadits shohih yang jumlahnya cukup banyak tersebut.

.

Padahal pengamalan satu dalil, dengan membuang dalil lain yang nampaknya saling bertentangan (ta’arudh) itu adalah hal yang sangat dihindari oleh para mujtahid. Sebab, ada kaidah fiqih yang menunjukkan hal itu, yaitu:

.

العَمَلُ بِالدَّلِيْلَيْنِ المُتَعَارِضَيْنِ اَوْلَى مِنْ إلْغَاءِ اَحَدُهُمِا

“Mengamalkan dua dalil yang bertentangan lebih baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain”.

.

Oleh karena itu, kalimat أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً dalam hadits tentang pengembalian onta di atas harus difahami sebagai sebaik-baiknya pengembalian, dalam dua kemungkinan, yaitu:

.

  1. Sebaik-baik pengembalian, dalam arti: baik dalam cara pengembaliannya. Contohnya, mengembalikan hutang dengan penuh senyuman, penuh rasa terima kasih, penuh keramahan, lebih cepat dari yang dijanjikan dsb.
  2. Sebaik-baik pengembalian, dalam arti: baik dalam segi kualitasnya. Misalnya, meminjam uang 100.000 dengan uang pecahan yang sudah lusuh, kemudian dikembalikan dengan pecahan yang masih baru.

.

Dua cara pemahaman di atas, adalah pemahaman yang lebih tepat, karena dapat mengamalkan dua kelompok hadits yang nampaknya bertentangan tersebut, sebagaimana yang dikehendaki oleh kaidah fiqih di atas.

.

Pemahaman inilah pemahaman yang lebih tepat untuk makna al-qardul-hasan. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank itu “halal” dengan alasan bahwa itu adalah al-qardul-hasan adalah pemahaman yang tidak tepat dan termasuk kategori penerapan hukum (tathbiqul hukmi) yang tidak sesuai dengan obyek fakta hukum-nya (manathul hukmi-nya). Dengan demikian kesimpulannya adalah: hukum bunga bank tetaplah haram.

.

Ingin faham lebih lengkap Tentang Membangun Bisnis Syariah ??, Silahkan Pre Order buku Membangun Bisnis Syariah…

👇👇👇

https://dwicondrotriono.com/buku/membangun-bisnis-syariah/