Di era seperti sekarang ini, walaupun sudah kita jelaskan bagaimana tinjauan hukum syari’ah yang berkaitan dengan multiakad, termasuk juga dengan tarjih-nya, umat Islam masih tetap saja tidak mau beramal dengan pendapat yang lebih kuat. Kebanyakan umat Islaam lebih suka berlamal dengan pendapat yang sesuai dengan kepentingannya, kesukannya, seleranya atau yang tegas yaitu sesuai dengan hawa nafsunya.
Termasuk dalam pembahasan hukum multiakad ini, walaupun tarjih-nya sudah disampaikan, masih juga memunculkan pertanyaan lebih lanjut: mengapa multiakad itu kok tidak boleh? Apa hikmahnya? Bagaimana logikanya? Bagaimana penjelasannya? Bagaimana dampak buruknya? Apa bahaya kalau mengamalkannya? Dan seterusnya.
Tentu ada seribu satu macam pertanyaan, gugatan dan keberatan untuk keputusan hukum yang tidak sesuai dengan kepentingan dan seleranya. Oleh karena itu, untuk menjawabnya kita harus menjelaskannya secara hati-hati dan pelan-pelan.
Untuk pemahaman awal, kita harus memahami terlebih dahulu bahwa di dalam setiap akad mu’amalah itu memiliki muqtadha al-‘aqad (konsekuensi aqad) yang berbeda-beda antara akad satu dengan akad lainnya. Misalnya, akad jual beli itu muqtadha al-‘aqad-nya adalah terjadinya pemindahan kepemilikan. Sedangkan dalam akad sewa-menyewa muqtadha al-‘aqad-nya adalah terjadinya pemindahan manfa’at.
Bagaimana selanjutnya? Silakan dibayangkan sendiri, betapa rusaknya jika kedua jenis akad itu digabungkan atau dicampur. Kita ambil saja salah satu contohnya. Misalnya dalam akad leasing. Kita sudah faham semua bahwa di dalam akad leasing itu sebenarnya telah terjadi penggabungan antara akad sewa-menyewa dengan akad jual beli. Atau, yang biasa dikenal dengan istilah sewa-beli. Nah, sekali lagi, bagaimana kerusakan multiakad dalam leasing itu dapat dijelaskan?
Sebagaimana definisi akad yang sudah dibahas sebelumnya, yaitu:
اِرْتبَاطُ اِيْجَابٍ بِقَبُوْلٍ عَلَى وَجْهِ مَشْرُوْعٍ يَظْهَرُ اَثْرَهُ فِيْ مَحَلِّهِ
“Ikatan ijab dengan kabul yang sesuai hukum syara’ yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad” (Yusuf As-Sabatin, Al-Buyu’, 13).
Berdasarkan definisi akad di atas, maka kita dapat memahami bahwa jika akad sudah terjadi (setelah terwujud ijab dan qabul), maka tentu akan menimbulkan konsekuensi terhadap obyek akadnya (muqtadha al-‘aqad). Nah, apa konsekuensinya, jika dua akad itu digabungkan menjadi satu akad terhadap obyek akadnya (mahallul ‘aqad)?
Jawabnya: status obyek akad tentu akan sangat membingungkan. Kok bisa? Marilah kita lihat kembali dalam skema akad leasing. Di dalam akad leasing, selama barang itu belum lunas angsurannya, maka status barang itu patut dipertanyakan: sebenarnya barang itu miliknya siapa?
Marilah kita urutkan. Misanya kita “membeli” sepeda motor dengan akad leasing selama 5 tahun. Selama masa angsuran 5 tahun tersebut, sebenarnya status sepeda motor itu milik siapa? Apakah milik lessor (pemberi sewa atau lembaga pembiayaan) ataukah milik lessee (penyewa atau yang mengangsur)?
Jika kita menjawab: sepeda motor itu milik lessor…! Benarkah…? Silakan dijawab: di dalam Buku Pemilik Kedaraan Bermotor (BPKB), yang tertulis itu atas nama siapa? Atas nama pihak lessor atau lessee…? Jawabnya: tentu saja adalah atas nama lessee. Berarti, apakah sepeda motor itu milik lessee…?
Ternyata tidak juga. Buktinya, jika lessee itu ansurannya macet, berhenti di tengah jalan. Bagaimana status sepeda motor tersebut? Tentu akan langsung disita dan semua uang yang tela dibayarkan akan dianggap sebagai uang sewa, sehingga tidak dikembalikan lagi. Padahal, dalam ketentuan iqalah (pembatalan akad jual beli), sebagaimana yang telah dibahas dalam bab sebelum ini, barang yang dibeli harus dikembalikan dan uang angsuran juga harus dikembalikan semuanya. Apakah dapat disimpulkan bahwa sepeda motor itu milik lessor…?
Ternyata tidak juga. Apa bukti selanjutnya? Misalnya, ketika harus membayar pajak kendaraan. Siapa yang berkewajiban membayar pajak tersebut? Apakah lessor atau lessee…? Jika sepeda motor itu dianggap milik lessor, tentu yang membayar pajak adalah lessor. Buktinya? Ternyata yang membayar pajak adalah lessee. Pernahkan kita melihat dalam dunia sewa-menyewa kendaraan, yang membayar pajak kendaraan adalah penyewanya? Tentu tidak masuk akal. Bingung bukan?
Silakan dibayangkan terus: jika jangka waktu angsuran itu selama 5 tahun, bagaimana status penggunaan barang oleh lessee itu? Yaitu, bagaimana konsekuensi dari perlakuan dan perawatan terhadap barang itu? Jika ada kerusakan pada motornya, siapa yang harus menanggung biaya servisnya. Jika motor itu dipinjam, ijinnya kepada siapa? Jika mau memodifikasi sepeda motornya, ijinnya kepada siapa? Jika mau menyewakan motor itu, uang sewa menjadi haknya siapa? Dan seterusnya. Semuanya akan ruwet, apakah itu hak lessor ataukah lessee? Apakah itu kewajiban lessor ataukah lessee? Tidak jelas.
Jika kita mau jujur, ketika telah terjadi akad transaksi leasing, pihak lessee (penyewa) tentu sudah merasa bahwa sepeda motor itu adalah sepeda motor miliknya, karena niatnya memang mau membeli sepeda motor secara kredit. Apakah faktanya demikian? Faktanya itu adalah barang sewaan selama 5 tahun, kecuali kalau bisa melunasinya dalam jangka waktu 5 tahun, baru dianggap sebagai barang miliknya. Bingung kan?
Itulah konsekuensi dari multiakad dalam leasing itu. Status barang itu menjadi tidak jelas. Sekali lagi dengan memahaman yang sederhana, kita dapat menyimpulkan rasa kebingungan kita, yaitu: jika lessee itu angsurannya macet, maka barang itu langsung disita dan uang angsuran yang telah dibayarkan dianggap sebagai uang sewa, berarti langsung hangus. Akan tetapi, jika angsurannya selesai, maka barang itu menjadi milik lessee dan uang angsuran yang telah dibayarkan dianggap sebagai uang pembelian. Padahal makna lessee itu sendiri adalah penyewa. Bagaimana mungkin seorang penyewa kemudian bisa menjadi pemilik barang? Ruwet bukan?
Jika kita masih bingung dengan contoh di atas, kita bisa menggunakan contoh yang lebih eskrim, eh maksudnya adalah ekstrim. Misalnya seorang wanita dinikahi dengan multiakad, yaitu akad nikah dan ijarah (sewa). Kita yakin, selama berumah tangga wanita itu akan bingung plus galau secara permanen.
Jika dia memasak, itu statusnya sebagai istri atau sebagai juru masak (yang disewa)? Ketika membersihkan rumah, itu statusnya sebagai istri atau pembantu rumah tangga (yang disewa)? Ketika harus melayani suami, itu statusnya sebagai istri atau PSK (pelacur yang disewa)? Tidak jelas bukan? Itulah rusaknya multiakad. Itulah sebabnya, multiakad menurut pendapat penulis, hukumnya adalah batal. Wallahu a’lam bish-shawwab.
Ingin belajar lebih lengkap dan jelas. Cek eCourse saya,
👇👇👇