Setelah kita memahami ketentuan dalam syari’ah Islam yang mengharuskan adanya deskripsi jenis pekerjaan yang jelas dalam akad kontrak kerjanya, selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah itu sudah cukup untuk dikatakan sudah jelas akad kontrak kerjanya?
.
Jawabnya tentu saja belum cukup. Jika kita mencermati berbagai jenis kontrak kerja, maka kita dapat menemukan bahwa dalam akad kontrak kerja itu masih dapat dipilah-pilah lagi. Paling tidak ada tiga jenis akad kontrak kerja, yaitu (An-Nabhani, 2004):
.
- Kontrak kerja yang hanya perlu menyebutkan takaran pekerjaannya saja, tanpa harus menyebutkan masa kerjanya (waktu kerjanya). Misalnya saja membuat baju model tertentu, mengemudikan mobil sampai ke suatu tempat tertentu dsb. Dalam kontrak kerja ini pekerja akan melakukan kerja sesuai dengan takaran yang ditentukan dalam kontraknya saja. Misalnya: mengemudikan mobil dari Yogyakarta ke Semarang, maka tidak dilihat lagi, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kota Semarang itu seberapa lama, apakah 3 jam, 5 jam ataukah 10 jam.
.
- Kontrak kerja yang hanya menyebutkan masa kerjanya, tetapi tidak menentukan takaran kerjanya. Misalnya: menjadi sopir selama 1 hari, menggali sumur selama 1 bulan, menjadi penjaga toko selama 1 tahun dsb. Dalam kontrak kerja ini, pekerja hanya melakukan pekerjaan sesuai waktunya saja. Misalnya: mengemudikan mobil selama 1 hari, maka tidak dilihat lagi, apakah mobilnya sudah sampai di tempat yang jauh atau hanya berputar-putar di dalam kota saja.
.
- Kontrak kerja yang menyebutkan masa kerjanya, sekaligus menyebutkan takaran kerjanya. Misalnya: menjahitkan baju model tertentu selama 1 minggu, mengemudikan mobil dari Yogyakarta ke Jakarta selama 1 hari, membangun rumah tipe 45 selama 3 bulan dsb. Dalam akad kontrak kerja ini, pekerja harus menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan takaran dan waktu yang telah ditentukan.
.
Untuk kontrak kerja kelompok 2 dan 3, yaitu kelompok kontrak kerja yang harus menyebutkan waktunya (masa kerjanya), maka dalam akad kontrak kerja ini wajib mencantumkan masa kerjanya. Sebab, jika masa kerja tidak disebutkan dalam akad kontrak tersebut, maka akan menimbulkan ketidakjelasan (majhul) dalam akad kontraknya.
.
Jika ada unsur ketidakjelasan, maka hal itu akan berpotensi menimbulkan konflik di kemudian hari. Oleh karena itu, sebagaimana telah ditegaskan di atas, dalam pandangan ekonomi Islam, jika akad kontrak itu mengandung ketidakjelasan, maka akad kontrak tersebut dapat dianggap tidak sah (An-Nabhani, 2004).
.
Ingin faham lebih lengkap Tentang Membangun Bisnis Syariah ??, Silahkan Pre Order buku Membangun Bisnis Syariah…
👇👇👇