Agar kita memiliki pijakan yang jelas dalam menetapkan status hukum bunga bank, maka kita perlu memahami bagaimana langkah-langkah yang harus dilakukan untuk menarik hukum (istinbathul ahkam) terhadap bunga bank. Secara mudah dan sederhaa, kita dapat memahami bahwa langkah-langkah untuk memberika status hukum terhadap satu perkara ada 3 langkah, yaitu (An-Nabhani, 1994):
- Memahami fakta (fahmul waqi’)
- Memahami nash (fahmun nushus)
- Penarikan hukum (istinbathul ahkam)
Selanjutnya marilah kita bahas satu per satu ketiga langkah tersebut. Kita mulai dari langkah pertama.
- Memahami fakta (fahmul waqi’)
Tahap pertama dari proses penarikan hukum (istinbathul-hukmi) adalah melakukan proses pemahaman terhadap fakta dari obyek yang akan dihukumi. Dalam hal ini adalah fakta dari bunga bank itu sendiri.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bunga bank adalah kompensasi yang akan diberikan oleh pihak peminjam kepada pihak yang memberi pinjaman atas sejumlah uang yang telah dipinjamkan. Besarnya bunga biasanya dihitung berdasarkan prosentase dari besarnya pokok pinjaman, kemudian dikalikan dengan lamanya waktu peminjaman (Chapra, 2000).
Praktek membungakan uang biasa dilakukan oleh individu atau lembaga keuangan. Individu atau badan hukum yang meminjamkan uang kepada perorangan atau menyimpan uangnya di lembaga keuangan, maka akan memperoleh imbalan yang disebut bunga simpanan. Sebaliknya individu atau badan hukum yang meminjam uang harus mengembalikan uang yang dipinjam dengan tambahan, sehingga disebut bunga pinjaman. Dari peristiwa tersebut tercatat beberapa hal:
- Bunga adalah tambahan terdapat uang yang disimpan pada lembaga keuangan atau uang yang dipinjamkan.
- Besarnya bunga yang harus dibayar ditetapkan di muka tanpa mempedulikan peminjam berhasil dalam usaha atau tidak.
- Besar bunga yang harus dibayar dicantumkan dalam angka prosen (%) dalam setahun.
Setelah kita memahami apa yang dimaksud dengan fakta bunga bank, maka selanjutnya kita dapat masuk pada langkah kedua, yaitu mencari nash yang berkaitan dengan fakta tersebut.
2) Memahami nash (fahmun nushush)
Langkah kedua dari tahap ini adalah memahami nash. Maksudnya adalah mencari nash-nash yang berkaitan dengan definisi fakta yang telah didapatkan tersebut. Dengan demikian, tugas kita selanjutnya adalah berupaya untuk mencari nash-nash yang terkait dengan fakta yang dimaksud.
Nash-nash yang terkait dengan fakta di atas dapat dirunutkan sebagai berikut, antara lain diambil dari beberapa hadits sebagai berikut:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا (بغية الحارث – ج 1 / ص 142, السنن الكبرى للبيهقي – ج 5 / ص 349)
“Setiap utang-piutang yang menghasilkan manfa’at adalah riba” (HR. Baihaqi).
Dalam hadits berikutnya, juga ada Sabda dari Rasulullah SAW:
النبي صلى الله عليه وسلم انه قال كل قرض جر منفعة فهو وجه من وجوه الربا (السنن الكبرى للبيهقي – ج 5 / ص 350)
“Setiap pinjam-meminjam yang menghasilkan manfaat adalah salah satu cabang daripada riba” (HR. Baihaqi).
Dari dua hadits di atas, kita dapat menarik pemahaman bahwa yang dimaksud dengan riba adalah setiap manfa’at yang muncul dari transaksi utang-piutang. Pemahaman di atas masih diperkuat dengan Hadits berikut ini:
الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ
“Riba itu dalam nasi’ah (menanti)”. (HR. Muslim dari Ibnu Abbas).
Demikian juga dalam Hadits dari Ibnu Abbas, beliau berkata: Usamah bin Zaid telah menyampaikan kepadaku bahwa Rasulullah saw bersabda:
آلاَ إِنَّمَا الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ
“Ingatlah, sesungguhnya riba itu dalam nasi’ah (menanti)”. (HR Muslim).
Dari Hadits di atas, kita dapat menarik pemahaman tentang riba nasi’ah, yaitu adanya tambahan atau keuntungan yang diambil terhadap suatu pinjaman sebagai imbalan karena masa menunggu. Tidak ada perbedaan apakah persentase tambahan itu bersifat tetap atau berubah, sedikit atau banyak, dibayar di depan atau pada saat jatuh tempo, apakah karena pemberian hadiah atau karena sesuatu bentuk pelayanan yang diterima sebagai suatu persyaratan peminjaman, semuanya itu termasuk dalam kategori riba nasi’ah.
Untuk memperkuat pemahaman tersebut, masih ada beberapa Hadits yang dapat memperkuat pemahaman tentang riba di atas:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ:
أَتَيْتُ الْمَدِينَةَ فَلَقِيتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَلَامٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ إِنَّكَ بِأَرْضٍ الرِّبَا بِهَا فَاشٍ إِذَا كَانَ لَكَ عَلَى رَجُلٍ حَقٌّ فَأَهْدَى إِلَيْكَ حِمْلَ تِبْنٍ أَوْ حِمْلَ شَعِيرٍ أَوْ حِمْلَ قَتٍّ فَلَا تَأْخُذْهُ فَإِنَّهُ رِبًا )صحيح البخاري(
Dari Said bin Abi Burdah dari Bapaknya: “Aku datang ke Madinah dan bertemu dengan Abdullah bin Salam RA, ia berkata, “Kamu hidup di dalam sebuah negeri dimana riba tersebar luas. Karena itu, jika salah seorang berhutang kepadamu dan ia memberikan hadiah sekeranjang rumput atau gandum atau jerami, janganlah kamu terima, karena itu adalah riba” (HR. Bukhari).
عن أنس وسئل: الرجل منا يُقرِض أخاه المال فيُهدي إليه. فقال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا أقرض أحدكم قرضاً فأُهدي إليه أو حمله على الدابة فلا يركبها ولا يقبله إلاّ أن يكون جرى بينه وبينه قبل ذلك
Dari Anas, “Rasulullah SAW ditanya, ‘Seorang laki-laki dari kami meminjamkan (qardh) harta kepada saudaranya, lalu saudaranya memberi hadiah kepada laki-laki itu. Maka Rasulullah SAW bersabda,’Jika salah seorang kalian memberikan pinjaman, lalu dia diberi hadiah, atau dinaikkan ke atas kendaraannya, maka janganlah dia menaikinya dan janganlah menerimanya. Kecuali hal itu sudah menjadi kebiasaan sebelumnya.” (HR Ibnu Majah).
إذا أقرض فلا يأخذ هدية
“Jika seseorang memberi pinjaman (qardh), janganlah dia mengambil hadiah.” (HR Bukhari, dalam kitabnya At-Tarikh Al-Kabir).
Untuk memepertegas pemahaman tentang riba dari Hadits di atas, kita juga dapat menarik pemahaman dari nash Al-Qur’an sebagai berikut:
فَإِن لَّمْ تَفْعَلُواْ فَأْذَنُواْ بِحَرْبٍ مِّنَ اللّهِ وَرَسُولِهِ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ ﴿٢٧٩﴾
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya” (QS. Al-Baqarah: 279).
Dari ayat di atas kita dapat memahami bahwa syarat bagi manusia yang ingin bertaubat dari mengambil riba adalah mengembalikan hanya pokok harta yang dipinjamnya. Dengan demikian, setiap ada kelebihan (sedikit maupun banyak) dari transaksi utang-piutang karena masa menunggu itu adalah riba. Dalam hal ini, ribanya adalah riba nashi’ah.
Setelah kita memperoleh pemahaman dari beberapa Hadits dan Al-Qur’an tenta apa yang dimaksud dengan riba menurut nash, maka kita dapat melanjutkan pada langkah yang ketiga, yaitu langkah penarikan hukum (istinbathul ahkam).
3) Penarikan hukum (istinbathul ahkam)
Jika dua tahapan di atas telah dilakukan, maka sekarang kita tinggal memasuki tahapan yang terakhir, yaitu proses penarikan hukum (istinbathul ahkam).
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, jika dalam tahap ketiga pemahaman antara fakta dengan nash adalah sama, maka kita dapat menarik sebuah hukum yang sama. Penarikan kesimpulannya adalah: bunga bank dapat disamakan dengan riba, sehingga hukumnya adalah haram.
Hal itu juga sesuai dengan pendapat Umar Chapra yang menyatakan bahwa istilah nasi’ah itu berasal dari kata nasa’a yang bermakna menunda, menangguhkan atau menunggu. Dengan demikian makna riba nasi’ah secara istilah adalah tambahan atau “premi” yang harus diberikan penghutang karena telah diberi waktu untuk membayar hutangnya (Chapra, 2000).
Sedangkan menurut Abdul Aziz Al-Khayyath, beliau mendefinisikan riba dalam istilah syar’iy dengan pengertian sebagai berikut:
الرِبَا هُوَ كُلُّ زِيَادَةٍ لِأَحَدِ الْمُتَعَاقِدَيْنِ فِي عَقْدِ الْمُعَاوَضَةِ مِنْ غَيْرِ مُقَابِلٍ أوْ هُوَ الزِّيَادَةِ فِيْ مُقَابِلِ الْأجْلِ
“Riba adalah setiap tambahan bagi salah satu pihak yang berakad dalam akad pertukaran, tanpa ada pengganti, atau riba adalah tambahan sebagai pengganti dari waktu” (Abdul Aziz al-Khayyath, Asy-Syarikat, 2/168).
Dari definisi riba menurut Abdul Aziz Al-Khayyath, kita dapat memahami bahwa riba ada dua macam, yaitu:
- Riba adalah setiap tambahan bagi salah satu pihak yang berakad dalam akad pertukaran, tanpa ada pengganti. Selanjutnya riba ini disebut dengan riba fadhal.
- Riba adalah tambahan sebagai pengganti dari waktu. Selanjutnya riba ini disebut dengan riba nasi’ah.
Dengan demikian, berdasarkan definisi riba menurut Abdul Aziz Al-Khayyath tersebut, bunga dalam perbankan dapat disamakan dengan riba nasi’ah, sehingga hukumnya adalah haram.
Ingin belajar lebih lengkap dan jelas. Cek eCourse saya,
👇👇👇
https://dwicondrotriono.com/bbb/