BUNGA TIDAK BERLIPAT GANDA ITU HALAL?

Pendapat yang mengatakan bahwa hanya bunga yang berlipat ganda saja yang dilarang, adapun jika bunga yang wajar dan tidak menzalimi diperkenankan. Maksudnya, bunga yang kecil itu tidak haram. Misalnya, bunga 1% atau 2% saja itu tidak haram.

.

Mengapa ada yang berpendapat seperti ini? Ternyata, para pakar ekonomi Islam yang berpendapat seperti ini memiliki 2 argumen.
.

Pertama. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah 275:

“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.

.

Mereka berpendapat bahwa, dalam ayat di atas ditunjukkan bahwa الرِّبَا  adalah lafadz yang umum. Kemudian dengan menggunakan kaidah ushul fiqih, sebagaimana kaidah di atas:

Dalil umum tetap dalam keumumannya, selama tidak terdapat dalil yang mengkhususkan (mengecualikan keumumannya)”.

.

Kemudian mereka melakukan pengkajian, apakah keumuman dalil QS. 2: 275 di atas ada yang mengecualikannya? Setelah mereka melakukan pengkajian yang mendalam, ternyata mereka menemukan dalil yang mengecualikannya, yaitu Al-Qur’an Surat Ali ‘Imran: 130: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda” (QS Ali ‘Imran: 130).

.

Menurut pendapat mereka, riba secara umum memang haram hukumnya, berdasarkan QS. Al Baqarah: 275. Namun, keumuman dari riba tersebut kemudian dikecualikan atau dikhususkan hanya untuk riba yang berlipat ganda saja, berdasarkan  dalil QS Ali ‘Imran: 130.  Sehingga jika disimpulkan, hanya riba yang berlipat ganda saja yang haram, sedangkan riba yang kecil prosentasenya tidak haram.

.

Bagaimana menjawab pendapat seperti ini? Ternyata cukup mudah. Pendapat  ini tidak dapaat diterima. Mengapa? Sebab, QS Ali ‘Imran: 130 tidak dapat dijadikan sebagai dalil takhshis dari keumuman riba. Sebab, dalam ilmu ushul fiqih, dalil takhsis haruslah datang belakangan, sedang dalil umum datang lebih dulu. Faktanya, QS Ali ‘Imran: 130 turun lebih dahulu dari Al Baqarah: 275.

.

Kedua. Ada yang berpendapat bunga bank yang diharamkan hanyalah bunga yang berlipat ganda (besar) saja, namun pendapat ini menggunakan istidlal yang berbeda dengan pendapat di atas.

Pendapat ini langsung didasarkan pada QS Ali ‘Imran: 130 sebagaimana di atas, yaitu:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda” (QS Ali ‘Imran: 130).

.

Dari ayat di atas, mereka kemudian langsung mengambil mafhum mukhalafah-nya (pemahaman yang sebaliknya). Sehingga dapat difahami, “janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda”, pemahaman yang sebaliknya adalah bahwa riba yang tidak berlipat ganda, atau riba yang kecil hukumnya boleh diambil.

.

Nah, bagaimana kita harus menjawab pendapat ini? Jawabnya juga cukup mudah. Pendapat itu tidak dapat dibenarkan, karena telah mengambil mafhum mukhalafah (pemahaman sebaliknya) secara tidak sah menurut ilmu ushul fiqih.

.

Dalam ilmu ushul fiqih, mafhum mukhalafah tidak sah jika bertentangan dengan nash. Apa contohnya? Contohnya adalah, ada ayat yang melarang orang tua  membunuh anaknya karena takut miksin, yaitu dalam QS. Al-Isra’: 31 “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan”.

.

Jika ayat di atas langsung diambil mafhum mukhalafah-nya, maka maknanya: boleh membunuh anaknya, jika tidak takut miskin. Misalnya, jika orang tuanya sedang jengkel, karena anaknya nangis terus, maka orang tua boleh membunuh anaknya. Mengapa? Sebab, alasan membunuhnya bukan karena takut miskin, tetapi karena rasa jengkel terhadap tangisan anaknya. Apakah pengambilan pendapat ini daat diterima?

.

Jawabnya, mafhum mukhalafah tersebut ternyata tidak boleh diamalkan, karena bertentangan dengan keumuman larangan membunuh (QS. Al Baqarah: 178). Oleh karena itu, mafhum mukhalafah untuk riba berlipat ganda juga tidak boleh diamalkan, karena bertentangan dengan keumuman larangan riba (QS. Al Baqarah: 275).

.

Di sisi lain, menurut Mukhtar Yahya (1993), surat Ali Imran: 130 tersebut tidak dapat diambil mafhum mukhalafah-nya, yaitu Allah telah mengharamkan riba yang berlipat ganda, maka pemahaman yang sebaliknya adalah bahwa untuk riba yang selain berlipat ganda adalah halal. Hujjah tersebut tidak sah, karena ayat tersebut tidak memenuhi salah satu syarat sahnya untuk diambil mafhum mukhalafah-nya.

.

Salah satu syarat tersebut adalah: dalalah manthuq ayat bukan untuk menerangkan suatu kejadian khusus. Pada ayat ini, ketika Allah menyebukan “ad’afan muda’afah” hanyalah sekedar menerangkan kejadian khusus bagi orang Jahiliyah. Orang Jahiliyah yang menghutangkan bila telah sampai waktu pembayaran berkata kepada yang berutang: “Bayarlah hutangmu itu atau kalau belum ada pembayarannya, maka hutangmu menjadi bertambah”, demikian seterusnya sampai hutang itu menjadi berlipat ganda. Berikutnya, turunlah ayat tersebut di atas.

.

Selain itu, Firman Allah terakhir tentang Riba, QS. 2:279 “Wa intubtum falakum ru-usu amwalikum“ menjelaskan tentang cara bertaubat bagi orang yang ingin kembali dari bertransaksi riba yaitu dengan membolehkan mengambil hutang pokoknya saja. Pada ayat ini terkandung penolakan tegas terhadap pendapat yang menyatakan bahwa riba yang haram hanya riba yang berlipat ganda saja, karena Allah telah mensyaratkan taubat dari mengambil riba dengan keharusan mengembalikan pokok hutangnya tanpa ada pertambahan sedikitpun. Ayat ini merupakan ayat terakhir berkaitan dengan masalah riba. Demikianlah, Allah telah mengharamkan riba dengan nash Al Qur’an dari permulaan hingga ayat yang terakhir.

.

Di sisi lain, fakta juga menunjukkan bahwa riba pada masa jahiliyah dan bunga bank sesungguhnya sama. Mengapa? Bunga utang akan terus bertambah seiring bertambahnya waktu. Jika orang berhuitang 100.000 rupiah, dengan bunga tetap sekitar 10 % per tahun, maka dengan perhitungan yang sederhana harus ada tambahan 10.000 dalam setiap tahun. Artinya, hutang menjadi berlipat ganda setelah 10 tahun.

.

Terlebih pada bunga majemuk, yang memungkinkan suatu saat jumlah seluruh kewajiban yang harus dibayar menjadi berlipat-lipat. Contohnya adalah: Jika seseorang berhutang Rp. 1.000.000,-  dengan bunga 10% p.a. (per tahun), maka dengan rumus bunga majemuk, berapa bunga yang harus dibayarkan dalam 10 tahun (misalnya)? Jika dihitung menggunakan rumus bunga majemuk di atas, maka hasilnya adalah sebagai berikut:

F = 1.000.000 ( 1 + 0,1)10

F = 2.853.116

Dengan demikian, bunga yang harus dibayarkan adalah Rp. 1.853.116. Dari hasil perhitungan bunga majemuk di atas menunjukkan bahwa hanya dalam periode 10 tahun utang, jumlah bunga yang harus dibayarkan sudah berlipat dari jumlah utang pokoknya. Fakta tersebut menunjukkan bahwa jumlah bunga yang harus dibayarkan sudah lebih dari bunga utang yang berlipat ganda (lebih dari 100 %). Apakah itu bukan riba berlipat ganda dari pihak bank?

.

Ingin faham lebih lengkap Tentang Membangun Bisnis Syariah ??, Silahkan Pre Order buku Membangun Bisnis Syariah…

👇👇👇

https://dwicondrotriono.com/buku/membangun-bisnis-syariah/